Dua cangkir terdiam dihadang malam Seakan sedang terkenang: Romantika sejarah yang menggenang.."JASMERAH"

Sabtu, 31 Desember 2011

Petirtaan Watugede (Petirtaan Kendedes) ..


Foto ada tulisan PTIRTAAN WATUGEDE pada saat saya memasuki Petirtaan Watugede.

Terlihat Kolam Petirtaan yang pada zaman dahulu di gunakan oleh para keluarga kerajaan Singosari untuk Mandi.

Terlihat Petirtaan Watugede yang saya ambil dari salah satu sudut area Petirtaan.

Di bawah pohon inilah ada sebuah aliran air (sumber) yang pada dulunya digunakan oleh Putri Kendedes untuk Bertapa Sampai Melahirkan anak yang dikandungnya.

Terlihat tangga untuk memasuki kolam Pertitaan .

 Nampak Terlihat Dari dekat batu-batuan pada saat zaman Kerajaan Singosari.

Nampak Terlihat Jelas di sinilah Tempat Bertapa Putri Kendedes.

Petirtaan Watugede Singosari, terletak di sebelah timur stasiun Kereta api Singosari, lokasi situs ini sangat teduh dan rindang, keindahan alam yang berpadu dengan kesejukan seakan mengajak untuk berimajinasi tentang kejayaan Singosari.

Petirtaan Watugede ditemukan pertama kali pada tahun 1925 oleh arkeolog berkebangsaan Belanda, merupakan tempat pemadian kuno berbentuk empat persegi panjang dengan batu-batu bata kuno berukuran besar-besar yang dapat dikatakan masih utuh dan berfungsi sebagai dinding kolam. Dapat dikatakan lokasi ini masih terawat dengan baik.

Yang menarik adalah di tepi petirtaan ini terdapat patung-patung kecil yang terus-menerus memancarkan air dari sumber dengan debit air yang cukup besar, terdapat pula “watu dakon” (batu dengan lubang-lubang dengan jarak tertentu seperti permainan tradisional ‘dakon’) yang mana~sebagaimana penjelasan juru kunci lokasi ini, ‘watudakon’ tersebut berfungsi sebagai penunjuk waktu bagi putri-putri raja yang sedang mandi di tempat tersebut.

Menurut cerita rakyat, lokasi ini merupakan tempat pemandian Ken Dedes, pada waktu Ken Dedes mandi dengan penjagaan prajurit yang berlapis-lapis, Ken Arok dapat menyelinap masuk untuk melihatnya, jika cerita ini benar maka Watugede berasal dari periode Singasari abad 11-13 Masehi.

Dwarapala ..

Foto Patung Dwarapala yang saya ambil dari Salah satu sudut area lokasi.

Foto Patung Dwarapala yang berada di Dalam area Taman.

Terlihat Patung Dwarapala yang terlihat nampak Besar yang saya foto dari salah satu sudut area taman.

Foto Patung Dwarapala yang berada di pinggir jalan.

Diperkirakan batu-batuan ini adalah bekas Pendopo Pintu Gerbang untuk menuju ke Candi Singosari yang di buat oleh warga dan masyarakat kerajaan Singosari .

Foto Drawapala yang berada di area Taman, arti dari dua jari yang menukik ke atas adalah agar semua orang di larang mendekati patung tersebut atau tanda (Mengancam).

Terlihat Foto kedua patung Dwarapala .

Patung Dwarapala dan Pintu Gerbang menuju candi Singosari pada masalalu yang berdekatan.

Nama dwarapala sendiri dipungut dari bahasa Sansekerta yang bermakna penjaga pintu atau pengawal pintu gerbang. Sekalipun keberadaan dua arca dwarapala menunjuk pada kemungkinan pintu gerbangkerajaan di masa lalu, namun hinga saat ini belum dilakukan rekonstruksi untuk mengetahui dimanakah letak istana Singosari secara tepat apakah disebelah barat atau timur Dwarapala karena situs bangunan istana Singosari sampai sekarang belum diketahui letaknya. Jika kita bertolak dari ajaran Saiva berkaitan dengan keberadaan dua arca dwarapala atau penjaga gerbang, maka dapat disimpulkan bahwa dua arca dwarapala itu sebenarnya berada disebelah barat istana Singosari. Sebab dalam ajaran Saiva ditetapkan bahwa Siva bersemayam dipuncak Kailasa yang digambarkan dalam wujud lingga. Pada pintu gerbang sebelah timur terdapat penjaga utama yakni Ganesha atau Ganapati. Pada pintu gerbang utara terdapat penjaga utama yakni Bhattari Gori. Pada pintu gerbang selatan terdapat penjaga utama yakni Rsi Agastya. Sedang pada pintu gerbang barat terdapat dua penjaga yakni Kala dan Amungkala. dengan demikian dua arca dwarapala yang dianggap sebagai penjaga pintu gerbang Singosari.

Arca Dwarapala yang berada diselatan, tangan kiri berada diatas lutut kiri. Sedangkan tangan kanan memegang gada yang ditelungkupkan ke bawah. Arca Dwarapala yang berada di utara, tangan kiri memegang gada yang ditelungkupkan, sedangkan tangan kanan bersifat "memperingatkan" dengan jari-jari tengah dan telunjuk diacungkan keatas, sedangkan tiga jari lainnya dirapatkan di telapak tangan.
Atibut kepala semacam ikat kepala yang dihias Kapala atau tengkorak-tengkorak. Kedua telinga memakai anting-anting berbentuk tengkorak, anting-anting ini bernama Kapala Kundala. Hiasan kelat bahu disebut Sarpa Keyura yaitu kelat bahu yang berupa seekor ular. Hiasan gelang disebut Bhujangga Valaya yang merupakan gelang dari ular juga. Hiasan tali yang melingkar dibahu dan menjuntai ke perut disebut Yajnopavita yaitu tali kasta yang berupa seekor ular besar. Diatas perutnya memakai hiasan ikat pinggang yang disebut Udarabandha. Pada lehernya memakai kalung dari untaian tengkorak pula yang disebut Kapala Hara. Pada kedua kakinya juga memakai gelang binggel dari ular disebut Bhujangga Nupura. Kedua arca raksasa ini membawa gada yang pangkalnya berbentuk Wajra, adalah lambang petir yang mempunyai kekuatan dahsyat. Bentuk gada dari masing-masing raksasa itu jika diperhatikan secara seksama ada sedikit perbedaan. Atribut-atribut ini menunjukkan suatu ciri dari langgam kesenian kerajaan Singasari yang berdasarkan agama Siva Budha aliran Tantra.

Letak kedua arca tersebut berada disisi kiri dan kanan jalan utama desa Candirenggo yang membujur dari timur ke barat. Arca raksasa yang sebelah kiri (selatan) berada diatas pedestal buatan yang dibuat sekitar tahun 1982

Rabu, 28 Desember 2011

Pondok Pesantren dan perjuangan kemerdekaan ( I ): Ponpes Bungkuk

Salah satu bangunan Pondok Pesantren Bungkuk yang terlihat dari area masjid Bungkuk di sebelah Ponpes bungkuk.

Terlihat salah satu bangunan Ponpes Bungkuk yang pada zaman dahulu sebagai tempat pendidikan Laskar Hizbullah dan warga daerah sekitar.

Terlihat  Ponpes Bungkuk yang bangunannya masih belum di renovasi sampai saat ini.

Salah satu bangunan Ponpes Bungkuk yang sampai saat ini tetap berdiri tegak sejak  tahun 1850 yang dibangun oleh Kiai Chamimuddin.

Terlihat teras Bangunan Ponpes Bungkuk.

Gerbang ini adalah pintu masuk yang kemungkinan di manfaatkan oleh santri-santri dan warga sekitar untuk menghubungkan antara desa dengan Pondok Pesantren Bungkuk pada saat jaman Penjajahan hingga saat ini.

Gerbang Pintu Masuk ke dalam Ponpes yang terlihat dari luar gerbang.

Foto salah satu Bangunan Ponpes Bungkuk.

Foto Salah satu Bangunan Ponpes Bungkuk dari lantai dua yang terlihat tetap berdiri tegak hingga sekarang.

Foto Masjid Bungkuk yang sedang dibangun dan direnovasi .

Foto Masjid bungkuk yang saya ambil dari area Ponpes Bungkuk.



Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari peran pondok pesantren, selain sebagai sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren telah banyak mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting Bangsa Indonesia.

Diakui atau tidak, pesantren memiliki andil besar dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, hadirnya tokoh-tokoh pergerakan dari kalangan santri hingga munculnya Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang mampu membakar semangat pejuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan 17 Agustus 1945, bersambut dengan orasi Bung Tomo yang menggelorakan semangat juang pemuda untuk segera tampil digaris depan.

Sebelum itu, ketika dimana Jepang memobilisasi tentara PETA untuk melawan bangsa Eropa, pesantren dengan para ulamanya mulai melibatkan diri dalam melawan penjajah dengan mendirikan laskar perjuangan yang dikenal dengan nama Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah.

Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.1

Istilah pesantren
Menurut Harry J. Benda,sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnyaterhadap kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat mengesahkan pentahbisan.2

Istilah pesantren sendiri berasal dari bahasa Jawa, pe-santri-an, kata santri sendiri berarti murid. Istilah ini diidentikkan dengan tempat para pelajar untuk menimba ilmu keagamaan, lebih lengkap dengan istilah pondok yang berasal dari bahasa Arab ‘funduuq’ yang berarti penginapan. Lebih jauh lagi, kata ‘santri’ dari suatu kajian dikatakan diambil dari bahasa sansekerta, cantrik yang berarti orang yang mengikuti guru. Pada mulanya pondok pesantren merupakan tempat penggemblengan nilai-nilai keagamaan, dalam perkembangannya pondok pesantren juga mengakselerasikan mobilitas horizontal, membangun kesadaran sosial, dengan begitu pesantren tidak lagi semata sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tapi juga merupakan lembaga sosial yang terus merespon setiap perkembangan dalam masyarakat.

Dari sini dapat kita temui latar belakang keterlibatan pondok pesantren dalam setiap gerakan perjuangan bangsa Indonesia, disamping ketidak sesuaian nilai budaya yang dibawa oleh kolonial dengan nilai-nilai keagaman yang menjadi pedoman bagi rakyat Indonesia ataupun kewajiban membela negara sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad SAW.

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.3

Pondok Pesantren Bungkuk
Ponpes Mifthahul Falah, lebih dikenal dengan Pesantren Bungkuk, didirikan sekitar tahun 1850 oleh Kiai Chamimuddin, salah satu nama yang cukup melegenda. Kiai Chamimuddin adalah salah satu eks. laskar Pangeran Diponegoro yang berhasil meloloskan diri ke daerah Malang utara sejak Laskar Pangeran Diponegoro terpecah belah.

Dikatakan ‘Pesantren Bungkuk’ sebab pada mula berdirinya, Kiai Chamimuddin melakukan siar agama Islam ditengah-tengah masyarakat yang mayoritas memeluk agama Hindu, ia mendirikan sebuah mushola, masyarakat sekitar menamai kelompok Kiai Chamimuddin dengan komunitas membungkuk lantaran sering mengintip gerakan sholat didalam mushola tersebut. Hal ini lama kelamaan menjadi kebiasaan dalam masyarakat dalam menyebut Pondok Pesantren Mifthahul Falah dengan Pesantren Bungkuk, hingga tulisan ini mulai dikerjakan, sebutannya masih tetap demikian.

Ponpes Bungkuk banyak memberi sumbangan terhadap perjuangan bangsa, salah satunya dengan seorang alumninya, KH. Masykur, menteri agama pada masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2 dan sempat kembali menjadi menteri agama dalam Kabinet Hatta-2. Bukan hanya itu, KH. Masykur juga pernah aktif dalam Laskar Hizbullah dan bergerilya di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman.

(1)    http://www.mypesantren.com/blogs/item/pesantren-kemerdekaan-dan-keindonesiaan
(2)    Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya) 1983, hlm. 33
(3)    Hielmy, Irfan. Wacana Islam (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000) hlm. 120

Selasa, 27 Desember 2011

Masjid Jami' Kota Malang..








Masjid Agung Jami’ terletak di sebelah barat alun-alun Kota Malang, tepatnya berada di Jl. Merdeka Barat. Masjid ini tidak hanya menjadi simbol keagamaan masyarakat, tapi juga memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. Masjid yang didirikan pada tahun 1890 M memiliki romantika sejarah.

Masjid Agung Jami’ dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun tahun 1890 M, kemudian tahap kedua dimulai pada 15 Maret 1903, dan selesai pada 13 September 1903. Bangunan masjid ini berbentuk bujursangkar berstruktur baja dengan atap tajug tumpang dua, dan sampai saat ini bangunan asli itu masih dipertahankan keberadaannya.1

Sebagaimana yang terjadi pada masa-masa kolonial, masjid adalah tempat ibadah umat Islam dan diidentikkan dengan agama pribumi, sering pula masjid digunakan sebagai tempat berunding untuk menggempur musuh, Masjid Agung Jami’ juga memiliki catatan perlawanan terhadap dominasi penguasa asing (bisa dibaca “Tentang alun-alun Kota Malang”).

Dalam segi bentuk bangunan, Masjid Agung Jami’ tidak banyak mengalami perubahan, jika dilihat dari gambar-gambar foto yang ada, hanya beberapa kali masjid ini mengalami perubahan dan itupun tidak merubah bentuk awal.

Pada tahun 1925 tampak adanya sedikit perubahan yang terjadi pada bangunan ini. Penambahan pagar di depan masjid, dua menara yang menjadi ciri khas masjid tersebut masih tetap dipertahankan sehingga sekilas tampak tidak adanya perubahan yang mencolok pada masjid ini di tahun 1910 dan 1925.
Hingga saat ini, Masjid Agung Jami’ masih menjadi perhatian bagi masyarakat Kota Malang terkait dengan umur dan sejarahnya.

(1)    http://masjidjami.com/sejarah.html

Senin, 26 Desember 2011

Alun-Alun Kota Malang ( II ): Alun-Alun Bunder Kota Malang..


Gambar Alun-Alun Bunder Kota Malang yang saya ambil saat pertama kali memasuki area tersebut dari depan SMAN 1 Malang.

Nampak Balai kota Malang yang dapat kita lihat dari Alun-Alun Bunder Kota Malang.

Foto Tugu kemerdekaan dan Balai kota Malang yang saya ambil dari dalam area Alun-Alun, Terlihat juga bunga teratai yang berada di sekitar kolam Alun-Alun yang menghiasi Alun-Alun Bunder Kota Malang.

Terlihat Berbagai Tanaman yang menghiasi Taman Alun-Alun Bunder Kota Malang .

Foto salah satu tanaman yang di belakangnya terlihat Balai kota dan  saya ambil dari salah satu

Foto Balai kota Malang yang di Ambil dari  Pintu Masuk Alun-Alun Bunder Kota Malang yang berada di depan Balai Kota Malang . 

Foto Balai Kota Malang yang saya ambil dari Trotoar di Sebelah Alun-Alun Bunder Kota Malang.

Terlihat Tugu Kemerdekaan dan juga Taman Alun-Alun Bunder Kota Malang.


Upaya pemerintah kolonial membangun citra melalui media alun-alun menemui hambatan yang berarti dengan didudukinya alun-alun oleh masyarakat pribumi. Perlawanan kultural dilakukan oleh masyarakat ketika ideologi agama juga memasuki wilayah ini.

Bagi warga pribumi Kota Malang yang taat memeluk ajaran Islam, maka wilayah Eropa semacam societeit atau bioskop adalah wilayah terlarang. Bagi kalangan ini perilaku Eropa yang berada di societeit adalah perilaku penuh dosa, dan wilayah tersebut tergolong wilayah haram dan harus dihindari.1

Citra yang dibangun melalui bangunan-bangunan kolonial malah meredup dengan munculnya Societeit dan Bioscoop Rex yang pada dasarnya malah membentuk kesadaran rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan, kesadaran ini semakin menjadi-jadi ketika ada larangan bagi mereka untuk masuk ke kawasan kolonial tersebut.

Dengan hilangnya citra itu penguasa kolonial mulai mengabaikan makna kultural alun-alun yang pada akhirnya diinterpretasikan hanya sebagai ruang terbuka biasa, hal ini ditunjukkan dengan ditempatkannya jalur trem yang membelah alun-alun dalam posisi diagonal dari pojok barat laut hingga ke tenggara, bahkan halte trem dibangun persis di tengah-tengah alun-alun.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1914 dalam rencana pembangunan (bouwplan) yang terdiri dari delapan tahapan pembangunan tata ruang kota, terdapat rencana pembangunan untuk menyiapkan pusat pemerintahan kota (balaikota) yang kemudian lebih dikenal dengan Gouverneur-Generaalbuurt, kawasan alun-alun ‘bunder’.

Setelah Kota Malang menyandang status gemeente pada 1914 maka dilaksanakanlah gagasan pemindahan pusat pemerintahan. Dan pada tahun 1922, pemerintahan Kota Malang pindah ke kawasan Alun-alun Bunder, terciptalah dua buah alun-alun di Kota Malang.

Keberadaan Alun-alun Bunder beserta kantor gemeente yang persis berada di selatan-nya terasa aneh karena keberadaannya justru seperti mengembalikan Kota Malang pada konsep kota tradisional Jawa yang sebenarnya. Kota-kota tradisional Jawa biasanya dibangun menghadap kea rah utara membelakangi laut selatan, sehingga alun-alun berada di utara kraton atau pendopo kabupaten, yang apabila ditarik sebuah garis imajiner maka akan menghubungkan laut selatan, kraton/pendopo,dan gunung.2

Belakangan hal ini diketahui terkait dengan konseptor pembangunan itu sendiri, Thomas Karsten yang berlatar belakang seorang sosialis-demokrat yang sangat anti kolonial.3 dari sini terdapat upaya untuk kembali ke gagasan asli kota Jawa yang sebelumnya telah dirusak oleh sebuah rancang bangun kolonialis.
Perkembangan selanjutnya, pemaknaan alun-alun ini pun bergeser pada taman kota yang hingga artikel ini ditulis ‘demikian’ adanya. Air mancur yang pada masa kolonial digunakan sebagai penghias, kini telah menjadi sebentuk tugu yang menjulang tinggi ditengah alun-alun, disekitarnya dihias oleh taman bunga dan “berpagar.”

Fungsi yang masih tetap ada dalam alun-alun bunder ini (saat ini) adalah alun-alun oleh rakyat kecil, kawulo alit dianggap sebagai ruang untuk mengadukan nasib dimana mereka bisa melakukan protes dengan cara ‘pepe’, berjemur diri di alun-alun sampai raja menghampiri mereka, terlihat dengan seringnya “wilayah luar pagar” alun-alun yang digunakan untuk berdemonstrasi~biasanya didepan gedung DPRD Kota Malang yang berada disamping kanan Balaikota Malang.

Hal lain yang tidak terdapat di Alun-alun Bunder ini adalah tempat ibadah, sepengetahuan saya, setiap kali mengunjungi kota-kota di Jawa, tempat ibadah (yang pada umumnya masjid) selalu mendampingi alun-alun, entah kalau saya salah.


(1)    Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 177
(2)    Wiryomartono, Seni bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban hindu-buddha, Islam hingga sekarang (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 22-26
(3)    Erica Bogaers and Peter de Ruijter, “Ir. Thomas Karsten and Indonesia Town Planing, 1915-1940” dalam Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 172

selanjutnya; Tugu Kemerdekaan
sebelumnya: Alun-alun Kota Malang

Alun-Alun Kota Malang ( I ) ..

Ini adalah foto masjid jami' kota malang yang di ambil dari salah satu sudut Lokasi alun-alun kota Malang.

Tampak seorang tukang foto yang mencari nafkah di alun-alun kota malang, dan terlihat juga di sekitar lokasi alun-alun tersebut terdapat banyak para pedagang yang berjualan  .



Foto yang di ambil dari jembatan layang di sebelah alun-alun kota malang yang tampak jalan Merdeka yang mengitari alun-alun kota malang.

Terlihat juga masyarakat yang mengunjungi alun-alun kota Malang sebagai tempat wisata bagi Masyarakat kota malang maupun para wisatawan dalam negeri dan Manca Negara.

Topeng Monyet adalah salah satu hiburan yang disukai bagi masyarakat dan para wisatawan saat mengunjungi Alun-Alun Kota Malang.

Dari Lokasi Alun-Alun Kota Malang kita dapat juga melihat Masjid Jami' Kota Malang yang berdiri kokoh.


Sebagaimana kota-kota di Jawa, Kota Malang juga memiliki alun-alun yang keberadaannya sering kali digambarkan sebagai inti kota atau “pusat” kekuasaan karena letaknya persis di depan kraton ataupun pendopo kabupaten yang jika diibaratkan: kraton atau pendopo kabupaten sebagai rumah, maka alun-alun adalah halamannya, keberadaan alun-alun menjadi sangat penting sebab alun-alun adalah pusat yang mengawali perkembangan kota.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jo Santoso, ada beberapa  kesimpulan mengenai alun-alun, pertama alun-alun melambangkan ditegakkannya sebuah sistem kekuasaan atas sebuah wilayah kekuasaan tertentu, tujuan dari penegakkan sistem kekuasaan tersebut dirupakan/dilaksanakan dengan harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi sebagai tempat semua perayaan dan upacara keagamaan yang penting. Ketiga, alun-alun merupakan tempat untuk mempertontonkan kekuasaan militer yang bersifat profane dan merupakan instrument dalam mempraktikkan kekuasaan sakral sang penguasa.1

Sebagai ruang yang memiliki sifat khusus dalam konsep kekuasaan, maka pemerintahan kolonial Belanda menaruh perhatian sejak mulai melaksanakan kekuasaannya di tanah air, dimanfaatkan untuk digelarnya kekuasaan baru di Jawa dengan ditandai dengan pembangunan rumah residen yang berhadapan langsung dengan kraton atau pendopo kabupaten. Dan hal ini secara simbolik diikuti pula dengan kenyataan yang berbeda, terkait dengan pemaknaan alun-alun itu sendiri. Alun-alun yang tadinya sangat formal dengan beragam ritual, menjadi ruang terbuka yang juga dimanfaaatkan oleh masyarakat untuk mencari mata pencaharian. Lebih urban dan pragmatis, bahkan gaya Eropa dimana penempatan simbol-simbol gaya hidup juga sempat diusung untuk memenuhi tampilan wajah alun-alun, hal ini terlihat di sekitar alun-alun Kota Malang yang lebih diwarnai dengan berdirinya pertokoan-pertokoan~hingga ketika artikel ini ditulis, keadaan juga semacam ‘demikian’.

Alun-alun utama Kota Malang memiliki perbedaan dengan alun-alun kebanyakan kota di Jawa, Alun alun yang dibangun pada tahun 1882 2  ini memiliki konteks dan konsep yang tidak lazim, dimana letak bangunan penting seperti pendopo kabupaten tidak berhadapan dengan kantor asisten residen, letak kantor residen berada di sebelah selatan alun-alun, sedangkan pendopo kabupaten terletak di sebelah timur dan tidak menghadap alun-alun.

Ada kemungkinan pembangunan alun-alun ini untuk kepentingan pemerintah kolonial, dimana Belanda ingin membentuk citra kolonial, alun-alun sebagai pusat kekuasaan administrasi kolonial, dan sebagai pusat kontrol atas produksi~dibuktikan dengan dibangunnya Javasche Bank dan Escompto Bank pada tahun 1915 yang terletak di utara alun-alun.3

Pembentukan citra ini juga dimungkinkan untuk meruntuhkan kewibawaan penguasa lokal yang pada akhirnya (tanpa diduga sebelumnya) memberi peluang bagi rakyat untuk melakukan penaklukan terhadap ‘pencitraan’ itu sendiri, hal ini dibuktikan dengan ‘pendudukan’ alun-alun oleh para pedagang makanan dan minuman. Inilah perlawanan nyata yang terjadi di alun-alun, meski bukan perlawanan fisik/perang, oleh para pedagang. Hingga saat ini, kehadiran para pedagang di alun-alun masih menjadi warna tersendiri bagi para pengunjung.

Segala upaya dilakukan oleh pemerintahan kolonial untuk membentuk citra dengan tumbuhnya bangunan administrasi yang mengitari alun-alun. Kecuali Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, semua bangunan yang mengitari alun-alun adalah bangunan untuk kepentingan dan citra kolonial. Citra itu muncul beberapa lama setelah alun-alun Kota Malang dibangun pada 1882. Pada 1912 dibangun Gereja Protestan yang terletak di pojok luar barat laut alun-alun, di sebelah utara Masjid Agung, tepatnya di Aloon-aloon Koelon Straat. Keberadaan gereja ini sangat kuat mencitrakan dominasi ritual barat (Kristen) atas ritual pribumi yang disimbolkan oleh masjid yang berdiri jauhsebelum gereja tersebut berdiri.4

Usaha pemerintah kolonial untuk mendominasi ‘citra’ ini malah memunculkan kesadaran dalam masyarakat untuk melawan, tentunya merupakan perlawanan kultural~sebagaimana sifat budaya orang Jawa yang menabukan perlawanan secara fisik, ataupun melakukan aksi protes, hal ini dikenal dengan istilah ‘pasemon’ atau mengkritik secara halus. Hingga artikel ini ditulis pun, alun-alun masih menjadi ruang terbuka bagi masyarakat meluangkan waktu untuk berwisata sekaligus merupakan tempat mencari rejeki bagi para pedagang.


(1)    Jo Santoso, Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa Jakarta: Centropolis, 2008), hlm 176
(2)    Dewan Pemerintah Kota Malang, 40 Tahun Kota Malang (Malang: DPK Malang, 1954), hlm. 13
(3)    Handinoto dan Paulus H. Soehargo, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang (Yogyakarta: ANDI, 1996), hlm. 52
(4)    Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 175

selanjutnya, Alun-alun Bunder 

Rabu, 21 Desember 2011

Monumen Pahlawan Trip ..


Gambaran Monumen Pahlawan TRIP yang bertempat di jalan Pahlawan TRIP kota Malang.
Foto Makam tentara TRIP yang telah gugur saat membela dan mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia saat agresi pertama Belanda, yang terlihat dari luar makam.
Prasasti Monumen Pahlawan TRIP yang berada di luar Makam Pahlawan TRIP.
Terlihat dari dalam makam Pahlawan TRIP dan terlihat juga Bendera Sang Saka Merah Putih yang masih berkibar hingga saat ini.


Salah satu Sudut Prasasti yang tertulis: AKU TENTARA REPUBLIK INDONESIA PELAJAR JAWA TIMUR (TRIP JATIM): " LEBIH BAIK MATI BERTEMPUR MELAWAN PENJAJAH BELANDA DARIPADA HIDUP SEBAGAI PELAJAR JAJAHAN.
Prasasti yang terlihat dari area sekitar Monumen Pahlawan TRIP.

Tanggal 23 Juli 1947 Brigade KNIL memasuki daerah Lawang, perlawanan dilakukan oleh rakyat terhadap gerakan ofensif pihak agresor ini. Terdapat beberapa kelompok perjuangan yang terlibat dalam penghadangan gerakan Brigade KNIL ini, diantaranya adalah Pasukan Polisi Perjuangan, laskar-laskar rakyat seperti Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang berpusat di Singosari dan Tentara Republik Indonesia Pelajar yang pada saat itu sedang mempersiapkan basis pertahanan Kota Malang.

Keberadaan Brigade KNIL di daerah Lawang kurang lebih sekitar satu minggu karena menyangka Kota Malang akan dipertahankan mati-matian oleh Divisi VII Untung Suropati yang memang memiliki persenjataan yang kuat dan lengkap, untuk itu mereka mendatangkan bala bantuan pasukan dari Brigade Marine yang berhasil masuk Kota Malang pada tanggal 31 Juli 1947, sepanjang jalan raya Lawang-Malang penuh dengan rintangan untuk menghambat gerak laju pasukan KNIL.

Pada tanggal 22 Juli 1947 staff divisi Untung Suropati memberikan briffing kepada para pemimpin TRIP, dalam brifing tersebut dijelaskan rencana pertahanan Kota Malang, dimana sebelum serangan Belanda tiba di Malang, Kota Malang akan dikosongkan dan objek-objek yang vital akan dibumihanguskan, termasuk kantor telegraf.

Pada waktu keadaan pasukan TRIP Batalyon 5000 Malang semua anggotanya tersebar di beberapa tempat, pasukan tempur telah dikirimkan ke garis depan di daerah Porong, Pandaan dan Tretes-Trawas. Sebagian pasukan masih berada dan tersebar di daerah Malang Selatan untuk memberikan penerangan kepada rakyat tentang perlunya pertahanan rakyat (volk defence) sebagai upaya untuk mempersiapkan rakyat menghadapi segala kemungkinan dari musuh. Sedangkan pasukan lainnya berada di Kota Malang dengan pimpinan Komandan Batalyon Soesanto.1

Tepat pada tanggal 31 Juli 1947, pasukan Belanda mulai menyerbu Kota Malang dengan kendaraan berat dan persenjataan lengkap, pasukan Belanda cukup mudah memasuki Kota Malang sebab kota ini telah dikosongkan oleh Komando Divisi Untung Suropati dan Kota Malang dinyatakan sebagai kota terbuka.

Sampai di Jl. Salak (sekarang Jl. Pahlawan TRIP), terjadi tembak menembak antara pasukan TRIP dan Belanda, beberapa pasukan TRIP gugur, termasuk Komandan Batalyon 5000 Malang, Seosanto.

Para korban yang gugur tersebut dikubur oleh sekelompok orang yang ditawan Belanda dalam satu lubang yang tidak jauh dari markas TRIP di Jl. Salak yang kini telah dirubah menjadi Jl. Pahlawan TRIP. Untuk mengenang dan menghargai jasa dan pengorbanan para pejuang yang gugur tersebut, dibangun sebuah monumen Pahlawan TRIP. Monumen dan Taman Makam Pahlawan TRIP ini terletak di Jl. Pahlawan TRIP, sebelah utara Museum Brawijaya Malang

Monumen dan Taman Makam Pahlawan TRIP adalah salah. satu upaya dari pihak Pemerintah Kota dan elemen-elemen yang terkait dalam menghargai dan menghormati ke-35 anggota TRIP yang gugur sebagai pahlawan dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia pada Agresi Militer Belanda I.

(1) Drs. Nur Hadi dan Drs Sutopo, Perjuangan Total Brigade IV, Malang: Penerbit IKIP Malang, 1997