Dua cangkir terdiam dihadang malam Seakan sedang terkenang: Romantika sejarah yang menggenang.."JASMERAH"

Rabu, 22 Februari 2012

Kepemimpinan Pancasila (Proses keteladanan dan ‘nation carachter building’)



            Manusia dalam kehidupannya akan selalu terlibat dalam organisasi, sebagaimana kodratnya yaitu sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, tidak dapat seorang manusia mampu menjalani hidupnya tanpa ada keterlibatan dari orang lain.
            Namun begitu, sungguh tak patut pula kiranya jika seorang manusia menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang lain. Dapat pula dikatakan bahwasannya manusia selalu berada dalam bayang-bayang ketakutan hingga terdapat dorongan dalam dirinya untuk selalu terlibat dalam suatu organisasi, disinilah fungsi daripada organisasi bagi manusia, selain sebagai naungan manusia untuk meminimalisir rasa ketakutannya, pun juga untuk membuka saluran-saluran bagi kepentingannya.
            Figur pemimpin mutlak diperlukan dalam sebuah organisasi, tentu agar organisasi tersebut lengkap dan memiliki bentuk, seorang pemimpin akan menampilkan kesan dari ruang lingkup organisasi yang ia pimpin. Dan tidak ada satupun bentuk organisasi yang hadir tanpa seorang pemimpin, bahkan dalam suatu geng berandalan pun pasti terdapat seorang pemimpin.
            Lebih jauh dari itu, ada pendapat yang menyatakan “dalam suatu masyarakat yang buruk akan terlahir pemimpin yang buruk”, tentu secara logika dapat dibenarkan pendapat yang demikian, dimana lingkungan juga memiliki andil dalam membentuk karakter seseorang, untuk itulah akhir-akhir ini sering terdengar dari lingkungan pendidikan Indonesia tentang ‘pendidikan berkarakter’~inipun sebenarnya telah lama didengungkan oleh Ir. Soekarno tentang pembangunan watak manusia Indonesia merdeka yang sering ia sebut dengan istilah “nation carachter building”. Tapi toh pada kenyataannya sejarah mencatat bangsa ini sering terjebak dalam penafsiran tunggal atas Pancasila, selalu saja hampir terjebak dalam bentuk kolektivisme yang menyesatkan. Saya katakan ‘hampir’ sebab selalu juga bangsa ini terselamatkan dari keadaan yang demikian.
            Dalam era kepemimpinan Ir. Soekarno bangsa ini terjebak dalam demokrasi terpimpin yang lebih condong pada paham kiri (sosialis-komunisme), dimana terjadi penafsiran tunggal atas Pancasila, tidak lebih baik juga pada masa ORBA dibawah kepemimpinan Jenderal Purnawirawan Soeharto yang terang-terangan mengklaim pelaksanaan demokrasi Pancasila, pada masa ini Pancasila juga mengalami penafsiran tunggal dan nyata kesan doktrinernya lewat P4 yang kebablasan.
            Dengan begitu, adalah sangat penting bagi bangsa Indonesia yang telah bersusah payah memperkenalkan dirinya kepada masyarakat dunia sebagai bangsa yang ramah dan santun, untuk kembali berbenah.
            Dalam tulisan ini akan coba dipaparkan gagasan tentang penafsiran Pancasila untuk mengajak masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi generasi bangsa Indonesia, untuk kembali menggali secara kreatif nilai-nilai dalam Pancasila, tentunya dalam hati kecil penulis yang terlalu muluk-muluk berharap kita semua akan mampu menemukan bentuk jati diri kebangsaan kita yang telah lama dibangun. Tentu dari sini, keterlibatan langsung generasi bangsa Indonesia akan memberi arti lebih dalam dialog-dialog pencarian daripada diam dan mem’mbebek’ yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan diri pada jebakan-jebakan kolektivisme.

Pemimpin dan proses keteladanan kepemimpinan

“Tidak ada kemalangan paling sengsara
Sepanjang takdir manusia,
Kecuali ketika para penguasa di dunia
Tidak menjadi manusia unggul.
Jika itu terjadi, maka segalanya
Menjadi palsu, miring dan mengerikan”
(Nietzsche-Zarathustra)

            Potongan dialog diatas ditulis oleh seorang sastrawan yang juga telah diangkat menjadi seorang filosof yang beraliran eksistensialisme, dalam potongan dialog tersebut dapat ditangkap keresahan akan suatu waktu, dimana manusia mulai bingung karena tidak lagi dapat menemui figur pemimpin. Tentunya yang dibutuhkan dunia sekarang ini adalah manusia-manusia unggul. Bukan saja itu diharuskan bagi para jelata, tapi yang terutama adalah jiwa manusia unggul yang ada dalam diri para pemimpin bangsa.
            Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat mengikuti ataupun berada dalam naungan suatu kepemimpinan yang tidak dapat diandalkan, tidak memiliki keunggulan dalam kepemimpinannya atau bahkan memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih rendah dari yang dipimpinnya, semua itu hanya akan menempatkan suatu bangsa pada keadaan yang berbahaya.
            Tentunya membicarakan hal demikian adalah terlampau jauh, membicarakan nasib suatu bangsa seperti melamunkan masa depan dan cita-cita kebangsaan yang masih juga diraba-raba keberadaannya. Kita tentu hanya bisa berupaya mempersiapkan sebuah generasi yang memiliki nilai lebih dari generasi sebelumnya sekaligus memunculkan figur-figur pemimpin masa depan. Mungkin juga ini terlalu ngawur, tapi tidak ada salahnya untuk memulai membicarakannya, toh kita sedang berusaha untuk selalu berbenah dan figur-figur pemimpin akan muncul melalui gemblengan di ruang-ruang pendidikan. Dan pada dasarnya manusia adalah pemimpin, terutama sekali disini adalah memimpin dirinya sendiri.
            Sebagaimana kata pepatah, untuk merubah dunia maka harus berani merubah diri sendiri, tentu dengan berbenah dan senantiasa melakukan introspeksi. Baik atau buruknya kepemimpinan seseorang akan selalu terkait dengan moralitasnya, jadi klarifikasi terhadap rekam jejak tentu menjadi hal terpenting dalam menentukan figur pemimpin, dengan begitu membangun karakter kebangsaan akan jadi hal utama dalam proses pendidikan dan dalam hal ini sangatlah diharapkan keterlibatan pelajar dalam dialog terbuka.
            Terdapat beragam konsep kepemimpinan yang semuanya mencita-citakan suatu kepemimpinan yang baik, dari yang klasik seperti konsep kepemimpinan Hasta brata yang membicarakan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin lewat gambaran delapan sifat alam,  ataupun Catur Paramitha (klik link artikel) yang berangkat dari ajaran Hindu yang merupakan landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau etika.
            Hingga konsep yang sengaja diimpor untuk memperkaya pemikiran tentang kepemimpinan sebagaimana model kepemimpinan visioner dan kepemimpinan passioner. Konsep kepemimpinan visioner berangkat dari istilah visi yang berarti kemampuan untuk melihat inti persoalan, pandangan, wawasan dan pengamatan. Visi melibatkan logika dan intuisi, pikiran dan perasaan, pengalaman masa lampau dan kemungkinan masa depan.
            Secara umum, ada tiga macam visi yang seringkali dipakai dalam kepemimpinan, yaitu: 1). Visi tentang masa depan yang mungkin terjadi; 2). Visi masa depan yang diinginkan, dan; 3). Visi masa depan yang baik atau yang hancur.
            Dengan begitu konsep ini banyak menuntut keterlibatan baik anggota maupun pengalaman untuk merumuskan suatu pandangan dan tujuan.
            Konsep passioner adalah kepemimpinan yang mengandalkan kekuatan passi yang diartikan sebagai cinta, motivasi, inspirasi dan perhatian.
            Kepemimpinan passioner cenderung menumbuhkan kecintaan dan pembelaan (fanatik) dari yang terpimpin pada sang pemimpin. Meskipun perpaduan antara dua konsep kepemimpinan ini memiliki kekuatan yang hebat, perpaduan antara keduanya juga memiliki kerawanan, sebab pada dasarnya keduannya juga memiliki sudut pandang yang bertolak belakang satu sama lain.
            Dari sini dapatlah diungkapkan bahwasannya figur pemimpin yang diharapkan tidaklah cukup hanya dengan kepandaiannya berorganisasi atau sekedar memiliki pengetahuan yang memadai untuk memimpin, tapi juga dibutuhkan pemimpin yang mampu memberi keteladanan bagi yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pengetahuan tanpa kemampuan untuk bertindak adalah percuma, belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku adalah percuma. Ibarat pohon yang tiada berbuah.
            Kembali lagi, dimana pada dasarnya manusia terlahir untuk memimpin, terutama adalah memimpin dirinya sendiri, terkait bagaimana ia mewakili dirinya dihadapan masyarakat yaitu bagaimana ia menempatkan segala sesuatunya dengan baik dan benar, terutama disini menempatkan dirinya dengan baik dan benar.
           
Membangun karakter kebangsaan
            Pancasila merupakan suatu gagasan tentang suatu tatanan masyarakat yang diimpikan dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia adalah tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Terlepas dari tercapai atau tidaknya tujuan tersebut, pada dasarnya bangsa Indonesia akan selalu melakukan dialog untuk mencapai suatu kesepakatan bersama dengan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
            Dalam catatan sejarah perkembangannya Pancasila selalu tidak lepas dari upaya penyimpangan yang tentunya melalui penafsiran tunggal, dimana dalam upaya penafsiran tersebut diakui atau tidak juga terdapat unsur pemaksaan suatu gagasan orang seorang kepada masyarakat, yang secara langsung juga telah mencederai Pancasila itu sendiri.
            Hal ini terjadi karena Pancasila sendiri sebagai dasar negara dan falsafah bangsa memiliki nilai-nilai universal yang sangat mungkin untuk ditafsirkan dan dikembangkan. Sebagaimana juga telah diakui oleh pemikir sekelas Gus Dur bahwa ini terjadi karena Pancasila tidaklah diciptakan sebagai tuntunan operasional secara detail dan rigid. Pancasila menyediakan ruang dasar-dasar yang perlu dikembangkan, yang satu sama lain saling terkait dan tidak boleh ditinggalkan. Dalam perkembangan inilah terjadi perbedaan-perbedaan, dan ini wajar saja sesuai dengan perkembangan demokrasi yang berjalan di negara Indonesia.
            Untuk itulah perlu adanya dialog dalam setiap penafsiran Pancasila, yang mana oleh Gus Dur disebut sebagai ketegangan kreatif yang tidak perlu ditutup-tutupi oleh siapapun, yang tentunya diharapkan tidak menimbulkan saling permusuhan dan bertolak belakang. Ketegangan kreatif itu artinya suatu sikap kelapangan dada dan toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk kemajuan dan mengembangkan kualitas bangsa Indonesia.
            Tentu suatu harapan dimana dalam suatu masyarakat yang baik akan memunculkan pemimpin yang baik, sebab lingkungan memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk watak seseorang, dan sangat perlu kirannya untuk kembali menggali nilai-nilai Pancasila yang juga merupakan cita-cita berbangsa. Dengan begitu sangatlah penting untuk membentuk tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tentunya dengan keteladanan kepada masyarakat tentang nilai-nilai Pancasila. Disini dapat diutarakan sekali lagi, bahwa belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku adalah sama halnya dengan pohon yang tiada berbuah.
            Terkait dengan masalah kepemimpinan Pancasila yang mana adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD’45.
            Untuk itu perlu juga disertakan pandangan Ir. Soekarno tentang Pancasila, dimana Pancasila menurut Ir. Soekarno dapat disederhanakan menjadi trisila: 1). Sosiodemokrasi, dimana pelaksanaan demokrasi yang tidak hanya mengurusi kehidupan politik semata, tapi juga kehidupan ekonomi dan sosial budaya; 2). Sosionasionalisme, yaitu nasionalisme yang tidak hanya semata mencintai tanah air dan bangsanya, tetapi lebih mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata; 3). keTuhanan yang merupakan pernyataan tegas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. dan dari tri sila ini dapat pula disederhanakan menjadi eka sila yaitu gotong royong.
            Inilah inti dari Pancasila yang menekankan kegotong royongan daripada perpecahan, lebih jauh daripada itu, sebagaimana amanat sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana kesadaran diri sebagai seorang manusia adalah yang terpenting untuk kemudian berlaku adil, tentu keadilan tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran akan kemanusiaan.
            Terutama sekali adalah adil terhadap diri sendiri dengan memperlakukan diri sebagai manusia yang juga memiliki kelemahan, misalnya: manusia itu bisa merasakan lapar atau kantuk, maka jika lapar ya harus makan dan tidur ketika mengantuk. Setelah itu adalah adil terhadap sesama dengan memperlakukan orang lain sebagai manusia yang juga memiliki kelemahan, misalnya kalau dipukul itu sakit ya jangan memukul, kemudian pula adil terhadap Tuhan, dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya untuk mencapai manusia yang beradab.
            Dengan begitu, pemimpin yang besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang dipimpinnya) dengan apa adanya atau katakanlah seorang pemimpin besar adalah mereka yang mampu dan mau memanusiakan manusia, tentu terutama dengan memanusiakan diri sendiri, tidak akan mungkin dapat memanusiakan orang lain tanpa ada kesadaran diri sebagai seorang manusia.

            Homogenitas masyarakat Indonesia yang memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam politik dan ekonomi, hal ini memungkinkan sekali untuk memunculkan pola pikir yang mementingkan kelompok atau primordialisme dan sulitnya penyesuaian terhadap nilai-nilai baru. Oleh karena itu.
Dalam pada itu perlunya pembangunan karakter kebangsaan dengan menggali kembali nilai-nilai Pancasila untuk membangun tatanan masyarakat yang berbudaya dan berkualitas sesuai dengan cita-cita bangsa. Dan dalam masyarakat yang baik senantiasa akan mencetak pemimpin yang baik yang tentunya dengan membangun suatu tatanan masyarakat yang baik.

Daftar Pustakanya
Friedrich Nietzsche. 2008. Zarathustra. Yogyakarta: Quills Book Publisher.
Nur Khalik Ridwan. 2010. Gus Dur Dan Negara Pancasila. Yogyakarta: Tanah Air.
M.N. Ibad. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Dr. Franz Magnis-Suseno. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.