|
Gambar Alun-Alun Bunder Kota Malang yang saya ambil saat pertama kali memasuki area tersebut dari depan SMAN 1 Malang. |
|
Nampak Balai kota Malang yang dapat kita lihat dari Alun-Alun Bunder Kota Malang. |
|
Foto Tugu kemerdekaan dan Balai kota Malang yang saya ambil dari dalam area Alun-Alun, Terlihat juga bunga teratai yang berada di sekitar kolam Alun-Alun yang menghiasi Alun-Alun Bunder Kota Malang. |
|
Terlihat Berbagai Tanaman yang menghiasi Taman Alun-Alun Bunder Kota Malang . |
|
Foto salah satu tanaman yang di belakangnya terlihat Balai kota dan saya ambil dari salah satu |
|
Foto Balai kota Malang yang di Ambil dari Pintu Masuk Alun-Alun Bunder Kota Malang yang berada di depan Balai Kota Malang . |
|
Foto Balai Kota Malang yang saya ambil dari Trotoar di Sebelah Alun-Alun Bunder Kota Malang. |
|
Terlihat Tugu Kemerdekaan dan juga Taman Alun-Alun Bunder Kota Malang. |
Upaya pemerintah kolonial membangun citra melalui media alun-alun menemui
hambatan yang berarti dengan didudukinya alun-alun oleh masyarakat pribumi.
Perlawanan kultural dilakukan oleh masyarakat ketika ideologi agama juga
memasuki wilayah ini.
Bagi warga pribumi Kota Malang yang taat memeluk ajaran Islam, maka wilayah
Eropa semacam
societeit atau bioskop adalah wilayah terlarang. Bagi
kalangan ini perilaku Eropa yang berada di
societeit adalah perilaku
penuh dosa, dan wilayah tersebut tergolong wilayah haram dan harus dihindari.
1
Citra yang dibangun melalui bangunan-bangunan kolonial malah meredup dengan
munculnya
Societeit dan
Bioscoop Rex yang pada dasarnya malah
membentuk kesadaran rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan, kesadaran ini
semakin menjadi-jadi ketika ada larangan bagi mereka untuk masuk ke kawasan
kolonial tersebut.
Dengan hilangnya citra itu penguasa kolonial mulai mengabaikan makna
kultural alun-alun yang pada akhirnya diinterpretasikan hanya sebagai ruang
terbuka biasa, hal ini ditunjukkan dengan ditempatkannya jalur trem yang
membelah alun-alun dalam posisi diagonal dari pojok barat laut hingga ke
tenggara, bahkan halte trem dibangun persis di tengah-tengah alun-alun.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1914 dalam rencana pembangunan
(bouwplan)
yang terdiri dari delapan tahapan pembangunan tata ruang kota, terdapat rencana
pembangunan untuk menyiapkan pusat pemerintahan kota (balaikota) yang kemudian
lebih dikenal dengan
Gouverneur-Generaalbuurt, kawasan alun-alun
‘bunder’.
Setelah Kota Malang menyandang status
gemeente pada 1914 maka
dilaksanakanlah gagasan pemindahan pusat pemerintahan. Dan pada tahun 1922,
pemerintahan Kota Malang pindah ke kawasan Alun-alun Bunder, terciptalah dua
buah alun-alun di Kota Malang.
Keberadaan Alun-alun Bunder beserta kantor
gemeente yang persis
berada di selatan-nya terasa aneh karena keberadaannya justru seperti
mengembalikan Kota Malang pada konsep kota tradisional Jawa yang sebenarnya.
Kota-kota tradisional Jawa biasanya dibangun menghadap kea rah utara
membelakangi laut selatan, sehingga alun-alun berada di utara kraton atau
pendopo kabupaten, yang apabila ditarik sebuah garis imajiner maka akan
menghubungkan laut selatan, kraton/pendopo,dan gunung.
2
Belakangan hal ini diketahui terkait dengan konseptor pembangunan itu
sendiri, Thomas Karsten yang berlatar belakang seorang sosialis-demokrat yang
sangat anti kolonial.
3 dari sini terdapat upaya untuk kembali ke
gagasan asli kota Jawa yang sebelumnya telah dirusak oleh sebuah rancang bangun
kolonialis.
Perkembangan selanjutnya, pemaknaan alun-alun ini pun bergeser pada taman
kota yang hingga artikel ini ditulis ‘demikian’ adanya. Air mancur yang pada
masa kolonial digunakan sebagai penghias, kini telah menjadi sebentuk tugu yang
menjulang tinggi ditengah alun-alun, disekitarnya dihias oleh taman bunga dan
“berpagar.”
Fungsi yang masih tetap ada dalam alun-alun bunder ini (saat ini) adalah alun-alun
oleh rakyat kecil,
kawulo alit dianggap sebagai ruang untuk mengadukan
nasib dimana mereka bisa melakukan protes dengan cara
‘pepe’, berjemur
diri di alun-alun sampai raja menghampiri mereka, terlihat dengan seringnya
“wilayah luar pagar” alun-alun yang digunakan untuk berdemonstrasi~biasanya
didepan gedung DPRD Kota Malang yang berada disamping kanan Balaikota Malang.
Hal lain yang tidak terdapat di Alun-alun Bunder ini adalah tempat ibadah,
sepengetahuan saya, setiap kali mengunjungi kota-kota di Jawa, tempat ibadah
(yang pada umumnya masjid) selalu mendampingi alun-alun, entah kalau saya
salah.
(1) Purnawan
Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 177
(2) Wiryomartono,
Seni bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur,
dan elemen fisik kota sejak peradaban hindu-buddha, Islam hingga sekarang
(Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 22-26
(3) Erica Bogaers
and Peter de Ruijter, “Ir. Thomas Karsten and Indonesia Town Planing,
1915-1940” dalam Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak,
2009), hlm. 172
selanjutnya; Tugu Kemerdekaan
sebelumnya: Alun-alun Kota Malang