Manusia dalam kehidupannya akan
selalu terlibat dalam organisasi, sebagaimana kodratnya yaitu sebagai makhluk
individu sekaligus makhluk sosial, tidak dapat seorang manusia mampu menjalani
hidupnya tanpa ada keterlibatan dari orang lain.
Namun begitu, sungguh tak patut pula
kiranya jika seorang manusia menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang lain.
Dapat pula dikatakan bahwasannya manusia selalu berada dalam bayang-bayang
ketakutan hingga terdapat dorongan dalam dirinya untuk selalu terlibat dalam
suatu organisasi, disinilah fungsi daripada organisasi bagi manusia, selain
sebagai naungan manusia untuk meminimalisir rasa ketakutannya, pun juga untuk membuka
saluran-saluran bagi kepentingannya.
Figur pemimpin mutlak diperlukan
dalam sebuah organisasi, tentu agar organisasi tersebut lengkap dan memiliki
bentuk, seorang pemimpin akan menampilkan kesan dari ruang lingkup organisasi
yang ia pimpin. Dan tidak ada satupun bentuk organisasi yang hadir tanpa
seorang pemimpin, bahkan dalam suatu geng berandalan pun pasti terdapat seorang
pemimpin.
Lebih jauh dari itu, ada pendapat
yang menyatakan “dalam suatu masyarakat yang buruk akan terlahir pemimpin yang
buruk”, tentu secara logika dapat dibenarkan pendapat yang demikian, dimana
lingkungan juga memiliki andil dalam membentuk karakter seseorang, untuk itulah
akhir-akhir ini sering terdengar dari lingkungan pendidikan Indonesia tentang
‘pendidikan berkarakter’~inipun sebenarnya telah lama didengungkan oleh Ir.
Soekarno tentang pembangunan watak manusia Indonesia merdeka yang sering ia
sebut dengan istilah “nation carachter
building”. Tapi toh pada kenyataannya sejarah mencatat bangsa ini sering
terjebak dalam penafsiran tunggal atas Pancasila, selalu saja hampir terjebak
dalam bentuk kolektivisme yang menyesatkan. Saya katakan ‘hampir’ sebab selalu
juga bangsa ini terselamatkan dari keadaan yang demikian.
Dalam era kepemimpinan Ir. Soekarno
bangsa ini terjebak dalam demokrasi terpimpin yang lebih condong pada paham
kiri (sosialis-komunisme), dimana terjadi penafsiran tunggal atas Pancasila,
tidak lebih baik juga pada masa ORBA dibawah kepemimpinan Jenderal Purnawirawan
Soeharto yang terang-terangan mengklaim pelaksanaan demokrasi Pancasila, pada
masa ini Pancasila juga mengalami penafsiran tunggal dan nyata kesan
doktrinernya lewat P4 yang kebablasan.
Dengan begitu, adalah sangat penting
bagi bangsa Indonesia yang telah bersusah payah memperkenalkan dirinya kepada
masyarakat dunia sebagai bangsa yang ramah dan santun, untuk kembali berbenah.
Dalam tulisan ini akan coba
dipaparkan gagasan tentang penafsiran Pancasila untuk mengajak masyarakat
Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi generasi bangsa Indonesia, untuk
kembali menggali secara kreatif nilai-nilai dalam Pancasila, tentunya dalam
hati kecil penulis yang terlalu muluk-muluk berharap kita semua akan mampu
menemukan bentuk jati diri kebangsaan kita yang telah lama dibangun. Tentu dari
sini, keterlibatan langsung generasi bangsa Indonesia akan memberi arti lebih
dalam dialog-dialog pencarian daripada diam dan mem’mbebek’ yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan diri pada
jebakan-jebakan kolektivisme.
Pemimpin dan proses keteladanan kepemimpinan
“Tidak ada kemalangan paling sengsara
Sepanjang takdir manusia,
Kecuali ketika para penguasa di dunia
Tidak menjadi manusia unggul.
Jika itu terjadi, maka segalanya
Menjadi palsu, miring dan mengerikan”
(Nietzsche-Zarathustra)
Potongan dialog diatas ditulis oleh
seorang sastrawan yang juga telah diangkat menjadi seorang filosof yang
beraliran eksistensialisme, dalam
potongan dialog tersebut dapat ditangkap keresahan akan suatu waktu, dimana
manusia mulai bingung karena tidak lagi dapat menemui figur pemimpin. Tentunya
yang dibutuhkan dunia sekarang ini adalah manusia-manusia unggul. Bukan saja
itu diharuskan bagi para jelata, tapi yang terutama adalah jiwa manusia unggul
yang ada dalam diri para pemimpin bangsa.
Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat
mengikuti ataupun berada dalam naungan suatu kepemimpinan yang tidak dapat
diandalkan, tidak memiliki keunggulan dalam kepemimpinannya atau bahkan
memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih rendah dari yang dipimpinnya, semua
itu hanya akan menempatkan suatu bangsa pada keadaan yang berbahaya.
Tentunya membicarakan hal demikian
adalah terlampau jauh, membicarakan nasib suatu bangsa seperti melamunkan masa
depan dan cita-cita kebangsaan yang masih juga diraba-raba keberadaannya. Kita
tentu hanya bisa berupaya mempersiapkan sebuah generasi yang memiliki nilai
lebih dari generasi sebelumnya sekaligus memunculkan figur-figur pemimpin masa
depan. Mungkin juga ini terlalu ngawur, tapi tidak ada salahnya untuk memulai
membicarakannya, toh kita sedang berusaha untuk selalu berbenah dan figur-figur
pemimpin akan muncul melalui gemblengan di ruang-ruang pendidikan. Dan pada
dasarnya manusia adalah pemimpin, terutama sekali disini adalah memimpin
dirinya sendiri.
Sebagaimana kata pepatah, untuk
merubah dunia maka harus berani merubah diri sendiri, tentu dengan berbenah dan
senantiasa melakukan introspeksi. Baik atau buruknya kepemimpinan seseorang
akan selalu terkait dengan moralitasnya, jadi klarifikasi terhadap rekam jejak tentu
menjadi hal terpenting dalam menentukan figur pemimpin, dengan begitu membangun
karakter kebangsaan akan jadi hal utama dalam proses pendidikan dan dalam hal
ini sangatlah diharapkan keterlibatan pelajar dalam dialog terbuka.
Terdapat beragam konsep kepemimpinan
yang semuanya mencita-citakan suatu kepemimpinan yang baik, dari yang klasik seperti
konsep kepemimpinan Hasta brata yang
membicarakan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin lewat gambaran delapan
sifat alam, ataupun Catur Paramitha (klik link artikel) yang berangkat dari ajaran Hindu
yang merupakan landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau
etika.
Hingga konsep yang sengaja diimpor
untuk memperkaya pemikiran tentang kepemimpinan sebagaimana model kepemimpinan visioner dan kepemimpinan passioner. Konsep kepemimpinan visioner berangkat dari istilah visi
yang berarti kemampuan untuk melihat inti persoalan, pandangan, wawasan dan
pengamatan. Visi melibatkan logika dan intuisi, pikiran dan perasaan,
pengalaman masa lampau dan kemungkinan masa depan.
Secara umum, ada tiga macam visi
yang seringkali dipakai dalam kepemimpinan, yaitu: 1). Visi tentang masa depan
yang mungkin terjadi; 2). Visi masa depan yang diinginkan, dan; 3). Visi masa
depan yang baik atau yang hancur.
Dengan begitu konsep ini banyak
menuntut keterlibatan baik anggota maupun pengalaman untuk merumuskan suatu
pandangan dan tujuan.
Konsep passioner adalah kepemimpinan yang mengandalkan kekuatan passi yang
diartikan sebagai cinta, motivasi, inspirasi dan perhatian.
Kepemimpinan passioner cenderung menumbuhkan kecintaan dan pembelaan (fanatik)
dari yang terpimpin pada sang pemimpin. Meskipun perpaduan antara dua konsep
kepemimpinan ini memiliki kekuatan yang hebat, perpaduan antara keduanya juga
memiliki kerawanan, sebab pada dasarnya keduannya juga memiliki sudut pandang
yang bertolak belakang satu sama lain.
Dari sini dapatlah diungkapkan
bahwasannya figur pemimpin yang diharapkan tidaklah cukup hanya dengan kepandaiannya
berorganisasi atau sekedar memiliki pengetahuan yang memadai untuk memimpin,
tapi juga dibutuhkan pemimpin yang mampu memberi keteladanan bagi yang
dipimpinnya. Dengan kata lain, pengetahuan tanpa kemampuan untuk bertindak
adalah percuma, belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku adalah percuma.
Ibarat pohon yang tiada berbuah.
Kembali lagi, dimana pada dasarnya
manusia terlahir untuk memimpin, terutama adalah memimpin dirinya sendiri,
terkait bagaimana ia mewakili dirinya dihadapan masyarakat yaitu bagaimana ia
menempatkan segala sesuatunya dengan baik dan benar, terutama disini
menempatkan dirinya dengan baik dan benar.
Membangun karakter kebangsaan
Pancasila merupakan suatu gagasan
tentang suatu tatanan masyarakat yang diimpikan dari berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, ia adalah tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Terlepas
dari tercapai atau tidaknya tujuan tersebut, pada dasarnya bangsa Indonesia
akan selalu melakukan dialog untuk mencapai suatu kesepakatan bersama dengan
berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam catatan sejarah perkembangannya
Pancasila selalu tidak lepas dari upaya penyimpangan yang tentunya melalui
penafsiran tunggal, dimana dalam upaya penafsiran tersebut diakui atau tidak
juga terdapat unsur pemaksaan suatu gagasan orang seorang kepada masyarakat,
yang secara langsung juga telah mencederai Pancasila itu sendiri.
Hal ini terjadi karena Pancasila
sendiri sebagai dasar negara dan falsafah bangsa memiliki nilai-nilai universal
yang sangat mungkin untuk ditafsirkan dan dikembangkan. Sebagaimana juga telah
diakui oleh pemikir sekelas Gus Dur bahwa ini terjadi karena Pancasila tidaklah
diciptakan sebagai tuntunan operasional secara detail dan rigid. Pancasila
menyediakan ruang dasar-dasar yang perlu dikembangkan, yang satu sama lain
saling terkait dan tidak boleh ditinggalkan. Dalam perkembangan inilah terjadi
perbedaan-perbedaan, dan ini wajar saja sesuai dengan perkembangan demokrasi
yang berjalan di negara Indonesia.
Untuk itulah perlu adanya dialog
dalam setiap penafsiran Pancasila, yang mana oleh Gus Dur disebut sebagai
ketegangan kreatif yang tidak perlu ditutup-tutupi oleh siapapun, yang tentunya
diharapkan tidak menimbulkan saling permusuhan dan bertolak belakang.
Ketegangan kreatif itu artinya suatu sikap kelapangan dada dan toleransi dalam
lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk kemajuan dan mengembangkan kualitas
bangsa Indonesia.
Tentu suatu harapan dimana dalam
suatu masyarakat yang baik akan memunculkan pemimpin yang baik, sebab
lingkungan memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk watak seseorang, dan
sangat perlu kirannya untuk kembali menggali nilai-nilai Pancasila yang juga
merupakan cita-cita berbangsa. Dengan begitu sangatlah penting untuk membentuk
tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tentunya
dengan keteladanan kepada masyarakat tentang nilai-nilai Pancasila. Disini
dapat diutarakan sekali lagi, bahwa belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku
adalah sama halnya dengan pohon yang tiada berbuah.
Terkait dengan masalah kepemimpinan
Pancasila yang mana adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD’45.
Untuk itu perlu juga disertakan
pandangan Ir. Soekarno tentang Pancasila, dimana Pancasila menurut Ir. Soekarno
dapat disederhanakan menjadi trisila: 1). Sosiodemokrasi, dimana pelaksanaan
demokrasi yang tidak hanya mengurusi kehidupan politik semata, tapi juga
kehidupan ekonomi dan sosial budaya; 2). Sosionasionalisme, yaitu nasionalisme
yang tidak hanya semata mencintai tanah air dan bangsanya, tetapi lebih
mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata; 3). keTuhanan yang
merupakan pernyataan tegas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama.
dan dari tri sila ini dapat pula disederhanakan menjadi eka sila yaitu gotong
royong.
Inilah inti dari Pancasila yang
menekankan kegotong royongan daripada perpecahan, lebih jauh daripada itu,
sebagaimana amanat sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana kesadaran
diri sebagai seorang manusia adalah yang terpenting untuk kemudian berlaku
adil, tentu keadilan tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran akan
kemanusiaan.
Terutama sekali adalah adil terhadap
diri sendiri dengan memperlakukan diri sebagai manusia yang juga memiliki
kelemahan, misalnya: manusia itu bisa merasakan lapar atau kantuk, maka jika
lapar ya harus makan dan tidur ketika mengantuk. Setelah itu adalah adil
terhadap sesama dengan memperlakukan orang lain sebagai manusia yang juga
memiliki kelemahan, misalnya kalau dipukul itu sakit ya jangan memukul,
kemudian pula adil terhadap Tuhan, dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya untuk mencapai manusia yang beradab.
Dengan begitu, pemimpin yang besar
adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang
dipimpinnya) dengan apa adanya atau katakanlah seorang pemimpin besar adalah
mereka yang mampu dan mau memanusiakan manusia, tentu terutama dengan
memanusiakan diri sendiri, tidak akan mungkin dapat memanusiakan orang lain
tanpa ada kesadaran diri sebagai seorang manusia.
Homogenitas masyarakat Indonesia yang memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam politik dan ekonomi, hal ini memungkinkan sekali untuk memunculkan pola pikir yang mementingkan kelompok atau primordialisme dan sulitnya penyesuaian terhadap nilai-nilai baru. Oleh karena itu.
Dalam pada itu perlunya pembangunan
karakter kebangsaan dengan menggali kembali nilai-nilai Pancasila untuk
membangun tatanan masyarakat yang berbudaya dan berkualitas sesuai dengan
cita-cita bangsa. Dan dalam masyarakat yang baik senantiasa akan mencetak
pemimpin yang baik yang tentunya dengan membangun suatu tatanan masyarakat yang
baik.
Daftar Pustakanya
Friedrich Nietzsche. 2008. Zarathustra. Yogyakarta: Quills
Book Publisher.
Nur Khalik Ridwan. 2010. Gus Dur Dan Negara Pancasila.
Yogyakarta: Tanah Air.
M.N. Ibad. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Dr. Franz Magnis-Suseno. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.