Foto Tugu kemerdekaan yang terlihat dari dekat yaitu didalam area Alun-Alun Bunder kota Malang. |
Nampak Tugu Kemerdekaan dan juga Alun-Alun Bunder Kota Malang, Foto ini diambil dari depan SMAN 1 Malang. |
Lama diam di depan sebuah sekolah favorit kota Malang,
pikiran mencoba menerka-nerka kejadian masa silam. Di seberang sana ada
bangunan tugu, sepintas mirip es lilin, tepat di tengah alun-alun bunder. Monumen tua yang dikelilingi taman yang indah, belum lagi bunga teratai yang
mengapung diatas kolam yang melingkarinya.
Keberadaan Alun-alun ini merupakan salah satu upaya pihak
kolonial Belanda untuk menaklukkan Jawa secara kultural, ini bisa dilihat dari
nama alun alun sebelumnya, J.P. Coen Plein, nama Gubernur Jenderal periode awal
bangsa Belanda di Indonesia.1 Di wilayah inilah kewibawaan
pemerintah kolonial menemui kemenangan dalam pertarungan simbol-simbol dengan
bangsa pribumi, tidak ada satupun aktivitas rakyat pribumi dilangsungkan
disini.
Berbeda dengan kolonial Belanda, pada masa pendudukan
Jepang, Jepang tidak begitu hirau dengan simbol-simbol kekuasaan, dan lebih
terkesan untuk menghindari hal-hal tersebut. Tidak ada tindakan yang berarti
terhadap simbol-simbol ataupun upaya pembangunan citra, Jepang lebih memilih
untuk berkonsentrasi dalam proyek perangnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan diperdengarkan, sebagaimana
kota-kota lain di Indonesia, di Kota Malang juga turut dibentuk KNID dan BKR. Masa peralihan di Malang sangat berbeda dengan di Surabaya.
Sekalipun terjadi banyak insiden, itu semua tidak mempengaruhi kelangsungan
Pemerintahan Indonesia. Di Malang telah terbentuk suatu Dewan Pimpinan Daerah
yag dipimpin oleh Bpk. Sam. Jadi pemerintahan di Malang bisa berjalan dengan
baik. Dari sinilah pemerintah mulai membangun Kota Malang. Salah satu rencana
Pemerintah saat itu adalah membangun sebuah Tugu Kemerdekaan di Kota Malang.2
Rencana pembangunan ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1946, tepat satu tahun
setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Peletakkan batu pertama ini
dihadiri antara lain oleh Dul Arnowo yang merupakan tokoh pejuang dalam
pertempuran 10 November di Surabaya. Pada saat peletakkan batu pertama ini, ia
telah menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur. Selain Dul Arnowo, hadir pula Mr
Sunarko Residen Malang. Pembangunan tugu tersebut dalam keadaan 95 persen
terpaksa dihentikan karena adanya aksi agresi militer yang pertama dari tentara
Belanda.3
Sasaran utama sangat jelas, yaitu menduduki Alun-alun Bunder yang selama ini menjadi ujung tombak dalam pertarungan simbol, sementara gedung Balaikota yang turut menjadi korban politik bumi hangus dan perebutan wilayah kekuasaan~laksana pola tingkah laku harimau yang menandai wilayah-wilayah kekuasaannya, maka monumen tugu yang sebelumnya berbentuk bambu runcing tersebut dihancurkan. Sebelumnya, Belanda melakukan penaklukan wilayah dengan cara yang halus, membungkus tugu dengan bendera Belanda yang berukuran besar dan menutup puncak tugu dengan penutup berbentuk mahkota raja berukuran besar. Dari sini dapat dipahami bagaimana Belanda ingin kembali menghadirkan nuansa Eropa ke Kota Malang tanpa harus membangun tugu baru.
Pada 23 Desember 1948 Tugu Kemerdekaan dihancurkan, dan
darisinilah pertikaian antara Belanda dan warga Malang menemui puncaknya hingga
pada tahun 1949 Belanda yang mendapat tekanan besar dari dunia internasional
termasuk Amerika Serikat kembali ke meja perundingan.
Pada 1 Mei 1950, sekelompok simpatisan Partai Komunis
Indonesia membuat patung besar berbentuk manusia setinggi dua kali orang dewasa
ditengah-tengah pondasi bekas tugu kemerdekaan, hal ini memunculkan reaksi yang
cukup kuat dari rakyat Malang dengan membentuk kembali Panitia Tugu Kemerdekaan
pada 9 Juni 1950 dan selesai pada pertengahan 1953. Rakyat menyambut dengan sangat luar biasa Tugu tersebut yang
seakan mengembalikan kemenangan dan hak yang sempat terlepas akibat agresi
militer Belanda I & II.
Pada 20 Mei 1953, Presiden Sukarno meresmikan Tugu
Kemerdekaan, ribuan rakyat Malang berduyun-duyun memadati Alun-alun Bunder
sekedar menjadi saksi peresmian tugu tersebut. Belakangan diketahui bahwa
ribuan rakyat yang hadir di Alun-alun Bunder saat itu bukan karena kehadiran
kembali Tugu Kemerdekaan, tetapi karisma Bung Karno lah yang menjadi ‘daya
magnet’ bagi ribuan wajah yang datang dan menyaksikan upacara peresmian secara
khidmat.
Tugu kemerdekaan di Alun-alun Bunder sangat mendominasi Kota
Malang. Dalam sebuah momen pengumpulan dana sosial, tugu kemerdekaan berpindah
ke pin-pin kecil yang dijual kepada masyarakat. Bahkan pada 14 Juli 1970, Tugu
Kemerdekaan dijadikan lambang Kota Malang menggantikan lambang kota lama yang
berbentuk burung garuda.4
Tapi demikian, pada dasarnya keberadaan Alun-alun Bunder yang sejak awal dijauhkan dari kehadiran rakyat Malang, hingga saat ini pun terkesan sangat jauh bagi masyarakat. Seperti halnya saya sendiri yang lebih akrab dengan alun-alun kota yang berada di Jl. Merdeka ketimbang dengan Alun-alun Bunder yang lebih menampilkan kesan ‘borjuasi’.
(1) Purnawan
Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 215
(2)
http://pasartugu.blogspot.com/2008/02/tugu-monument.html
(3) Dewan
Pemerintah Kota Malang, 40 Tahun Kota Malang (Malang DPK Malang 1954), hlm. 25
(4) Purnawan
Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 223
sebelumnya; Alun-alun Bunder
sebelumnya; Alun-alun Bunder